RESUME PERISTIWA SEJARAH BERGABUNG DAN LEPASNYA TIMOR
TIMUR DI INDONESIA (1976-1999)
Peristiwa yang terjadi di
Timor-Timur tidak terlepas dari Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal pada
tahun 1974, dimana Presiden Portugal yang ada, Salazar, dan digantikan dengan
Presiden yang baru, Spinola. Presiden Spinola menetapkan dua kebijakan baru
yang mempengaruhi daerah jajahannya, yang pertama adalah dekolonisasi, yang
kedua adalah demokratisasi. Kebijakan demokratisasi ini yang nantinya
memberikan kesempatan bagi daerah jajahan untuk menentukan nasibnya sendiri. Di
Timor Timur sendiri terbentuk beberapa oragnisasi masyarakat yang kemudian
berubah menjadi partai politik. Setiap partai ini memiliki tujuan tersendiri
diantaranya seperti Fretilin (Frente Revolucionaria
de Timor-Leste Independente), sebuah partai komunis yang menginginkan Timor
menjadi sebuah negara komunis yang merdeka. UDT (União Democrática Timorense), sebuah partai yang menginginkan Timor
merdeka namun masih dalam naungan Portugal. Ada pula Apodeti (Associação Popular Democratica Timorense)
yang menginginkan wilayah Timor bergabung dengan NKRI.
Salah satu
perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugal yang cukup besar dan
terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque. Perlawanan rakyat yang di gerakkan
dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat untuk berintegrasi
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi sebenarnya sudah
muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor
Portugal, terutama rakyat Kabupaten Viqueque bangkit mengangkat senjata melawan
penjajah Portugal. Beberapa tokoh pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte,
Salem Musalam Sagran dan, Germano D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang
banyak bercerita tentang bagaimana perlawanan terebut, cita-cita intergrasi
penderitaan akibat kegagalan perjuangan karena berhasil ditumpas oleh
Pemerintahan Portugal. Selain ketiga tokoh tersebut, pada pertengahan Januari
1996, ketiga pelaku pergerakan Viqueque yang oleh pemerintah Portugal di buang
ke Angola dan Portugal. Perjuangan rakyat Timor Timur melepaskan diri dari
belenggu penjajahan dan kemudian mendapatkan status sebagai salah satu provinsi
di Indonesia.
Insiden
Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan
pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November
1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka
terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes,
yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Dalam prosesi
pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari
orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250
menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Munculnya tekanan-tekanan dari
masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu
memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi
masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk
membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998,
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi
luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB.
Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara
Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan
antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan
kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan
memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Jalannya jajak pendapat dikawal oleh Australia atas nama PBB. Dan hasil dari
jajak pendapat ini adalah memenangkan pihak yang ingin Timor Timur merdeka.
Hasil dari jajak pendapat itu sendiri adalah sebanyak 98,6% dari 450.000
pemilih yang terdaftar, menggunakan haknya dalam jajak pendapat. Terdapat
446.953 suara yang dihitung dan 438.968 di antaranya sah. Kelompok prokemerdekaan
meraih suara terbanyak dalam hasil jajak pendapat dengan perolehan suara
344.580 suara atau 78,2%, sedangkan prootonomi meraih sekitar 94.388 suara atau
21%. Indonesia pun setelah itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan harus
merelakan salah satu provinsinya lepas.
Bagian 2
Lepasnya Timor Timur dari NKRI
1. Tawaran ( Opsi) Penyelesaian Persoalan Timor Timur
Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi
pembicaraan banyak kalangan bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Setelah
insiden Santa Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah berusaha menyerukan
otonomi bagi Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat dilakukan[1].
Seruan tersebut disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang
pernah disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat
reaksi keras dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Uskup
Belo mengungkapkan pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan
dan kebebasan yang mengalami ancaman sehingga ia meminta
bantuan pengamanan dari internasional.
Hal itu dilakukannya dengan alasan di Timor Timur sudah tidak ada tempat untuk
melakukan pengaduan karena ABRI yang dianggap sebagai pelindung telah melakukan
hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan kekerasan[2]. Akan tetapi semua usulan
mengenai pemberian otonomi luas di Timor Timur tidak mendapat perhatian serius
dari pemerintah Republik Indonesia pada saat itu karena posisi dan sikap
pemerintah sangat jelas yang menganggap bahwa integrasi Timor Timur
merupakan hal yang telah final dan tidak bisa ditawar[3].
Pemberian otonomi luas menurut Presiden
B.J.Habibie merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh,
dan dapat diterima secara internasional. Cara ini menurut Presiden B.J.Habibie
merupakan suatu cara penyelesaian yang paling realistis, paling mungkin
terlaksana, dan dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu
kompromi yang adil antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan[4].
Tawaran dari pemerintah berupa Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi
rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala Daerahnya sendiri, menentukan
kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya sendiri. Keputusan untuk
mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden
B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun
tidak mendapat pengakuan dari PBB.
Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus
dengan otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Hal ini terlihat pada saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali
Alatas untuk menyampaikan usulan Indonesia tentang pemberian status khusus ini
kepada Sekjen PBB di New York pada tanggal 18 Juli 1998. Selain itu juga
diperkuat dengan berlangsungnya kembali Perundingan “Senior Official Meeting” (SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat
menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998. Dari hasil dialog tersebut
ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan lebih lanjut usulan baru
dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi luas sebagai usaha
penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi masing-masing pihak.
Pada saat yang sama Sekretaris jendral PBB juga sedang berusaha untuk
meningkatkan konsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat Timor Timur yang
berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan dengan tujuan
untuk menyampaikan perkembangan perundingan yang telah dilakukan
kepada mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka
sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah persetujuan
tentang rancangan otonomi luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks) tersebut.
Tanggapan positip mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh
banyak tokoh dan kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain
terlihat dalam diskusi yang diprakarsai oleh East Timor Study Group (ETSG)[5]. Mereka melihat konsep
otonomi luas tersebut di dalam kerangka suatu masa transisi yang cukup lama
sebelum suatu penyelesaian menyeluruh melalui referendum diadakan. Otonomi luas
tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah Republik Indonesia,
bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan
tersebut.
Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain,
wewenang Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan
kecuali aspek pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang
pemberian otonomi luas terhadap masyarakat Timor Timur ini jika dilihat
dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas daripada kebebasan yang
diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur kehidupan
masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur
memiliki kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan
yang lebih bersifat khusus[6]. Akan tetapi semua
perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami perubahan karena pada saat
Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan pembicaraan
berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie
mengajukan Opsi II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika
rakyat Timor Timur menolak Opsi I tentang pemberian otonomi luas maka
Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan kewenangannya kepada MPR hasil
pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan kemungkinan melepaskan wilayah tersebut
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat, baik-baik, dan
damai, serta secara konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden B.J.Habibie pada saat
berlangsung Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri Bidang Politik dan Keamanan
(Rakorpolkam) pada tanggal 25 Januari 1999. Rapat tersebut dilakukan untuk
membahas surat yang dikirim oleh Perdana Menteri Australia-John Howard kepada
Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai perubahan sikap Pemerintah
Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam suratnya, PM John Howard
mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum) setelah penerapan status
khusus dengan otonomi luas di Timor Timur untuk jangka waktu tertentu.
Perubahan sikap Australia itu berpengaruh bagi Pemerintah Republik Indonesia
karena Australia sebelumnya menjadi salah satu dari beberapa negara yang
mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur. Usulan
Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27 Januari 1999
dan disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna terbatas Bidang
Politik dan Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut Presiden B.J.Habibie
akan berdampak positip bagi Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia akan
terbebas dari beban nasional untuk membiayai pembangunan di Timor Timur, maupun
tekanan-tekanan internasional dan kritik dari negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB
yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan
tersebut diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik
dalam negeri pada saat. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II
merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi
yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun
kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi
yang sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga
didasari oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi
Manusia(HAM) dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap
rakyat Indonesia[7].
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan
Timor Timur menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap
sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan
situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti
dengan: pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara
Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga
menimbulkan krisis multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan
Presiden Soeharto. Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru atas desakan para
mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui gerakan reformasi secara
berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam negeri terhadap
pemerintah sehingga menimbulkan “krisis
kepercayaan terhadap pemerintah”. Keadaan pemerintah yang sedang mengalami
banyak persoalan dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis Timor Timur yang
menuntut diadakannya referendum sebagai sarana penentuan nasib rakyat Timor
Timur.
Tuntutan tersebut mendapat banyak simpati dari
kelompok-kelompok masyarakat lain di tanah air dan dunia internasional. Dari
dalam negeri dukungan diberikan oleh kelompok pembela HAM dan demokrasi,
seperti LSM dan Komnas HAM. Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan
Australia yang selalu mengontrol dan melakukan provokasi kepada
Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua
negara itu bersama-sama dengan PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di
Timor Timur. Perubahan sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan
global dan isu-isu internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi
pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998 pada saat
Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk
memberikan “ status khusus dengan Otonomi
luas”. Pemberian status ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai
penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27
Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang
Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang
berhubungan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian
status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor Timur maka jalan yang
akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah Republik Indonesia akan mengusulkan
kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru terpilih agar Timor Timur dapat
berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik-baik, damai,
terhormat, tertib, dan konstitusional[8].
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan
tidak diterima secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat
menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan
bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan bagi persatuan
dan keamanan di wilayah itu[9]. Ancaman terhadap
instabilitas keamanan di Timor Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi
kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi disana. Meningkatnya
intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua
kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan
intimidasi. Kelompok pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan
pemberian Opsi II semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok
pro-integrasi dan Pemerintah Republik Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya
menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat pendatang, baik para pedagang
maupun aparat pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di wilayah itu. Selain
itu kemunculan berbagai kelompok milisi pro integrasi yang tidak dapat dicegah
menjadi faktor pendukung bagi meningkatnya intensitas konflik di wilayah
yang pernah menjadi propinsi ke-27 Indonesia[10].
Keadaan di Timor Timur, khususnya Dili semakin kacau setelah pemimpin Gerakan
Perlawanan Rakyat Timor Timur (CNRT/Concelho
Nacional Resistencia Timorense)- Xanana Gusmao pada tanggal 5 April 1999
mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI dan TNI. Pertikaian dan konflik,
serta tindak kekerasan yang sering terjadi antara kelompok pro-integrasi dan
pro-kemerdekaan menyebabkan Pemerintah RI khususnya TNI/POLRI melakukan
usaha-usaha rekonsiliasi untuk mendamaikan kedua pihak tersebut. Usaha tersebut
juga dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Timor Timur.
Usaha yang telah dilakukan oleh TNI/POLRI antara lain adalah dengan
memfasilitasi suatu perjanjian damai yang diselenggarakan di Diosis Keuskupan
Dili pada tanggal 21 April 1999. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh
Menhankam/Panglima TNI Jendral Wiranto, Komnas HAM, dan Gereja Katholik di
Timor Timur dan menghasilkan kesepakatan tentang penghentian permusuhan dan
penciptaan perdamaian[11]. Menindaklanjuti
perjanjian damai tersebut maka TNI/POLRI dan Komnas HAM kemudian membentuk
Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS). Unsur-unsur keanggotaan KPS terdiri
dari perwakilan Fretilin, kelompok pro-integrasi, TNI/POLRI, Komnas HAM, dan
perwakilan Pemerintah RI serta wakil dari UNAMET[12]. Tugas dari KPS
antaralain adalah (1) memonitor terjadinya pelanggaran-pelanggaran serta dampak
perjanjian damai; (2) melakukan koordinasi dengan semua pihak untuk
menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, dan kekerasan; (3) menerima
pengaduan masyarakat tentang pelanggaran yang terjadi di Timor Timur,
baik yang dilakukan oleh aparat maupun pihak-pihak yang bertikai; (4) KPS
bersama UNAMET akan menyusun suatu aturan main (code of conduct) untuk mengatur perilaku pada masa sebelum,
selama, dan setelah konsultasi yang harus ditaati oleh semua pihak[13].
Pada tanggal 18 Juni 1999 TNI/POLRI berhasil memfasilitasi kesepakatan antara Concelho Nacional Resistencia Timorense
(CNRT) dan Falintil dengan pihak pro-integrasi untuk menyambut Jajak Pendapat
di Timor Timur. TNI/POLRI juga berhasil menjadi fasilitator penyelenggaraan
Pertemuan Dare II di Jakarta pada tanggal 25-30 Juni 1999[14]
yang membahas empat masalah pokok, yaitu rekonsiliasi, Jajak Pendapat,
keamanan, dan masalah politik.
Hasil dari usaha-usaha tersebut tidak sesuai dengan harapan karena kedua
pihak yang bertikai sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat
bersama. Hal itu disebabkan oleh kuatnya rasa dendam diantara mereka. Keadaan
tersebut semakin meningkatkan kekacauan di Timor Timur. Ketegangan diantara
kedua pihak semakin meningkat setelah dilakukan Jajak Pendapat yang
diselenggarakan oleh UNAMET. Hasil jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB pada
tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa sebesar 78,5% atau sekitar 344.580
orang menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas, sedangkan sebanyak
21,5% atau sekitar 94.388 orang menerima Opsi I. Hal ini menunjukkan bahwa
mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka berpisah dari NKRI[15].
Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang
didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau
keadaan Timor Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap
netral. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar
negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri Jaime Gama ( Portugal) dengan
mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh perhatian langsung
dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan[16]. Kesepakatan ini
diperoleh dalam sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di
New York (AS) yang menghasilkan “Persetujuan New York”. Persetujuan ini
menghasilkan tiga hal yang disepakati dan ditandatangani, serta satu lampiran
yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur. Ketiga
hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal
mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara
Jajak Pendapat melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta
adil; (3) persetujuan tentang pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan
tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1236 tahun 1999 dalam
pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7 Mei 1999[17].
2. Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian
persoalan Timor Timur yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie.
Sesuai dengan Perjanjian New York, Jajak Pendapat diselenggarakan oleh PBB.
Pelaksanaan Jajak Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu (1) Tahap
Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni 1999; (2) Tahap
Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999; (3) Tahap
Persiapan dan Registrasi, tanggal 13 Juni-17 Juli 1999; (4) Tahap Pengajuan
keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat, tanggal 18-23 Juli 1999; (5)
Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus 1999; (6)
Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999; (7) Tahap Pemungutan suara,
tanggal 8 Agustus 1999. Dalam pelaksanaan ada beberapa tahapan yang dilakukan
tidak sesuai dengan rencana sehingga mempengaruhi seluruh proses Jajak
Pendapat. Tahap-tahap yang mengalami perubahan waktu pelaksanaan yaitu Tahap
Persiapan dan Registrasi dilakukan tanggal 16 Juli 1999 karena ada kesulitan
dalam penyelenggaraan peralatan, logistik, dan keterbatasan personil. Registrasi
dilakukan tanggal 6 Agustus 1999 untuk wilayah Timor Timur dan 8 Agustus 1999
untuk wilayah diluar Timor Timur. Masa Kampanye juga mengalami kemunduran
sehingga dimulai tanggal 11-27 Agustus 1999. Jajak pendapat diselenggarakan
tanggal 30 Agustus 1999. Kemunduran penyelenggaraan Jajak Pendapat selain
karena perubahan waktu pelaksanaan tahapan sebelumnya, juga karena alasan
keamanan dan logistik[18]. Perubahan waktu
penyelenggaraan Jajak Pendapat disahkan dengan resolusi PBB No.1262 tanggal 27
Agustus 1999[19].
Jajak Pendapat dilakukan secara serentak di lebih dari
700 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur pada tanggal 30
agustus 1999 dan diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur yang berada di
wilayah ini. Disamping itu juga diikuti oleh sekitar 30.000 orang Timor Timur
yang berada di daerah lain (Denpasar, Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta)
serta di Luar Negeri (AS, Australia, Macau, Mozambik, Portugal) yang telah
memenuhi syarat menjadi pemilih[20]. Syarat bagi orang-orang
yang berhak mengikuti jajak pendapat adalah (1) telah berumur 17 tahun; (2)
lahir di Timor Timur; (3) lahir diluar Timor Timur, tetapi memiliki sedikitnya
satu orang tua yang lahir di Timor Timur; (4) menikah dengan seseorang yang
memenuhi syarat sebagai pemilih. Sementara itu hasil jajak pendapat diumumkan
oleh PBB tanggal 4 September 1999.
Indonesiatu - Program Studi Ilmu Pemerintahan
Semester V STISIPOL Raja Haji dan Tanjungpinang-Kepulauan Riau dan Wartawan
Tabloid Suara Mahasiswa
Tepat pada 4
September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur
tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI
diumumkan. Dan akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan
memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak itulah, isu disentegrasi bangsa
menjadi suatu persoalan yang tidak bisa dinomorduakan sebab bukan tidak mungkin
muncul “kecemburuan” dari daerah lain yang merasa dirinya kaya dan mampu
mengurus daerahnya sendiri memilih memisahkan diri juga dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Untunglah,
kekhawatiran itu tidak terjadi pasca Timor Timur menyatakan sikap untuk membuat
negara sendiri yang kini bernama Timor Leste. Meskipun demikian,
ancaman-ancaman untuk merobohkan bangunan NKRI selalu saja terbit ketika bangsa
ini lemah dan lengah. Namun, siapakah pelaku yang mencoba merobohkan kebhinekaan
Indonesia? Kalau boleh jujur, ini adalah lagu lama. Permusuhan dan permainan
negara-negara yang merasa dirinya digdaya antara AS yang berkiblat pada
ideologi liberalis dan negara-negara yang beraliran komunis.
Ada
benarnya, apa yang ditulis oleh wartawan Batam Pos pada Selasa (28/8), Bung
Abdul Latif dalam tulisannya di kolom opini, “DCA, Ancam Integritas Bangsa”
bahwasanya ada intervensi atau campur tangan AS (Amerika Serikat) dalam
perjanjian DCA antara Indonesia dan Singapura. Kekhawatiran ini, menurut hemat
penulis bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada, tetapi perlu dicermati bersama
format seperti apa yang kita butuhkan untuk menjaga stabilitas dan keutuhan
bangsa. Oleh sebab itu, ada baiknya kita belajar banyak dari sikap Timor Timur
mengapa masyarakat di sana lebih memilih berpisah daripada bergabung dan
menerima otonomi khusus dari pemerintah RI.
Bergabungnya
Timor Timur sebagai propinsi ke-27 di masa pemerintahan Presiden Soeharto
merupakan suatu cerita panjang bagi kehidupan kesejarahan dunia global umumnya
dan khususnya bagi Indonesia. Bagaimana tidak, propinsi yang pernah dirasuki
dan dikuasai Portugis itu, sekarang telah mengingkari ‘janji’-nya sendiri.
Sebuah kesepakatan untuk setia kepada wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Namun,
dibalik bergabungnya Timor Timur itu masih menyimpan teka-teki.yang mungkin tak
terlalu sulit untuk dijawab. Mengapa negara lain khususnya Amerika Serikat
mendukung pada saat disahkan RUU tentang integrasi Timor Timur ke wilayah
Republik Indonesia. Ada apa, toh Amerika sebagai negara yang mengaku dirinya
adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh keuntungan materi dari
disahkannya RUU itu menjadi UU. Aneh tapi nyata, segala kesulitan-kesulitan
yang dihadapi Indonesia selalu dibantu oleh negara penganut paham liberal
tersebut. Khususnya tentang loby pihak Amerika kepada negara-negara lain untuk
mengakui bahwa Timor Timur telah resmi bergabung dengan Indonesia.
Negara-negara
lain biasanya mengamini saja kalau Amerika yang mempunyai kemauan. Akan tetapi,
itu semua belum dapat menjawab teka-teki yang penulis katakan tak sulit untuk
dijawab tadi. Inti dari “belas kasih” negeri yang sekarang dipimpin George W.
Bush ini merupakan umpan empuk yang dipergunakan untuk memberangus paham atau
ideologi komunis.
Kalau Timor
Leste saat itu tidak bergabung, maka Amerika tentu akan merasa sulit untuk
menyuntikkan paham-paham liberalnya, karena saat itu paham komunis terlebih
dahulu masuk daripada paham yang mereka anut. Sementara, komunis bagi mereka adalah
faktor penghambat sekaligus penghalang bagi mereka untuk menguasai dunia,
sehingga membuat mereka menyusun kekuatan dengan pemerintah Indonesia pada saat
itu untuk memberangus komunis di Timor Timur.
Bantuan
setengah hati dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika paham komunis
telah berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan. Sehingga,
pemerintah Indonesia terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan propinsi-propinsi
yang berpotensi besar menyumbangkan “upetinya” ke pemerintahan pusat.
Selanjutnya, Timor Timur menjadi ‘anak adopsi’ yang tak terurus. Mereka hanya
diberikan ‘uang jajan’ selebihnya dibiarkan.
Timor Timur:
Upaya Amerika Memberangus Komunis
Memang
secara fisik Amerika tidak sedikit pun mempengaruhi apalagi menjajah Timor
Timur untuk digali hasil kekayaannya secara materi, tetapi intervensi yang
mereka lakukan hanyalah semata-mata untuk menolong dan mendukung Timor Timur,
sehingga mereka mencari teman terdekat untuk diajak kerjasama yaitu Indonesia.
Perbuatan yang kelihatannya terpuji menyimpan maksud terselubung yaitu
terciumnya bau komunis di wilayah itu. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur
dengan Indonesia, Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna
mempermudah dan memuluskan paham modernisasi.
Sebagaimana
yang ditulis Andi Yusran (1999: 128) bahwasanya masalah Timor Timur sebenarnya
tidak melulu masalah politik, melainkan juga adalah persoalan hukum, persoalan
yang selalu mengedepan saat ini dan sebelumnya adalah tidak adanya kepastian
hukum bagi status Timor Timur, sejarah mencatat bahwa sejak awal integrasi
(1975), integrasi tersebut tidak mendapat pengakuan dari PBB, namun demikian
negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Australia, justru lebih awal
memberikan dukungan, bahkan sejarah juga menunjukkan kalau AS “terlibat” dalam
proses tersebut.
Masih
menurutnya, dukungan negara-negara barat atas integrasi Timor Timur ke dalam
wilayah RI itu bernuansa politik strategis, yakni usaha membendung pelebaran
sayap komunisme, karena Fretelin yang sebelumnya telah memproklamirkan
kemerdekaan atas Timor Timur secara sepihak (Nov 1974), dianggap beraliran
Marxis. Dalam konteks ini, maka wajar jika Indonesia merasa telah di atas
angin, karena telah mendapat dukungan AS dan negara Barat lainnya, konsekuensi
dari semua itu Indonesia menjadi lengah (setengah hati?) tidak memperjuangkan
status hukum atas Timor Timur, padahal sekiranya Indonesia mengangkat isu
keabsahan Timor Timur di forum PBB minimal sebelum perang dingin berakhir
(1989), besar kemungkinan AS beserta sekutu baratnya akan menjadi negara
pertama yang mengakui integrasi tersebut.
Bermula dari
perang saudara di Timor Timur, Fretelin golongam yang beraliran Marxis mendapat
bantuan persenjataan. Bantuan persenjataan yang berasal dari Portugis
menjadikan mereka kelompok yang berkuasa khususnya di daerah Dili. Pada 28
November 1975 secara sepihak Fretelin memproklamasikan berdirinya Republik
Demokrasi Timor Timur dengan Xavier do Amaral sebagai presidennya, Ramos Horta
sebagai menteri luar negeri dan Nicola Lobato sebagai perdana menteri.
Namun,
proklamasi ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat Timor Timur sendiri.
Demi mewujudkan impiannya, Fretelin kemudian melakukan tindakan pembersihan
terhadap lawan-lawan politiknya untuk menguasai wilayah Timor Timur sehingga
terjadilah perang saudara. Fretelin sebagai partai beraliran komunis terpaksa
menghadapi empat partai lain yang juga menguasai wilayah Timor Timur. Empat
partai (UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista) yang menggabungkan kekuatan itu,
melakukan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai Proklamasi Balibo pada 30
November 1975 yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia pada 7 Desember
1975.
Selanjutnya,
pasukan Indonesia membantu keempat partai tersebut untuk melumpuhkan kekuatan
Fretelin. Pernyataan integrasi masyarakat Timor Timur ke Indonesia di Balibo
diulang kembali oleh para pendukungnya di Kupang (NTT) pada 12 Desember 1975.
Melalui pengulangan proklamasi terebut, maka para pendukungnya sepakat
membentuk Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) pada 17 Desember 1975 yang
beribukota di Dili dan dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo sebagai ketua dan
wakilnya Francisco Xavier Lopez da Cruz serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang diketuai oleh Guilherme Maria Gonsalvez dengan wakilnya Gaspocorria Silva
Nones.
Pada 31
Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur dikeluarkan
petisi yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan
integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi
Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan
seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI
kepada DPR RI.
DPR melalui
sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17
Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI
/ MPR/ 1978. Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan
propinsi yang baru lahir tersebut memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari
beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili, Baucau, Monatuto,
Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa, Ermera
dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat
oleh Presiden Soeharto menjadi gubernur dan wakil gubernur yang selanjutnya
dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.
Persoalan
Belum Selesai
Bergabungnya
Timor Timur ke wilayah Indonesia bukan berarti persoalan Timor Timur selesai
begitu saja. Sementara, bagi pemerintah RI Timor Timur telah sah bergabung
wilayah Indonesia dan menganggap ancaman disintegrasi kecil kemungkinan untuk
terjadi. Kelompok-kelompok penekan yang menentang integrasi memang tak dapat
tumbuh dan berkembang di masa itu, tetapi mereka terus bergerilya menyusun
rencana dan mencari moment yang tepat untuk bergerak meneruskan perjuangan
mereka untuk lepas dari wilayah Republik Indonesia.
Memang
tokoh-tokoh sentral yang mengingkari pengintegrasian tersebut seperti Alexander
Kay Rala alias Xanana Gusmao telah ditahan oleh pihak-pihak yang berwenang di
lingkungan pengamanan pada Era Orde Baru. Dan itu tak lepas dari peran Presiden
Soeharto yang jeli melihat aksi-aksi kritis yang mencoba memecah belah
persatuan.
Di dunia
internasional, Portugal yang memasuki wilayah Timor Timur pertama kali
mempersoalkan propinsi yang berlambang dasar perisai berbentuk persegi lima
tersebut. Indonesia menganggap ini bukan sesuatu yang membahayakan dan
menganggap hal ini biasa-biasa saja karena memandang masalah Timor Timur sudah
selesai dan Timor Timur telah mereka anggap sebagai anak kandung yang paling
bungsu. Selalu dimanja dan dipuja-puja. Pemerintah telah memberikan bantuan
dana bagi daerah ini sebesar 92 persen untuk tahun 1998.
Meskipun
demikian, Dewan Keamanan PBB, terus mengobok-obok bergabungnya Timor Timur ke
wilayah Indonesia dan mereka belum mengakui integrasi Timor Timur ke dalam
wilayah RI. Seperti yang ditulis Nico Thamien R (2003: 46) dalam bukunya yang
berjudul. “Sejarah untuk Kelas Tiga SMU”,
“Posisi
Indonesia semakin sulit ketika terjadi peristiwa Santa Cruz pada bulan November
1991 yang menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini memperkeras kritik dunia
internasional dan lembaga-lembaga non pemerintah terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Namun, bukan berarti pemerintahan Indoenesia lepas tangan begitu
saja. Sejak tahun 1980 sebenarnya mereka telah mencium bau yang tak sedap ini
dan sering melakukan pembicaraan rutin dengan Portugal, tetapi pembicaraan itu
tak mencapai titik temu.”
Hingga
pemerintahan Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Angin
disentegrasi yang semula sepoi-sepoi berhembus, sekarang hembusannya semakin
kencang. Apalagi bos CNRRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorese) yang
merupakan tempat oposisi Fretelin bergabung setelah disudutkan, Xanana Goemao
telah dilepaskan. Rencana apik yang telah dia susun di dalam kerangkeng semakin
mudah dia lakukan bersama konco-konconya.
B. J Habibie
yang menggantikan mantan presiden Soeharto mau tidak mau turut tertimpa masalah
dan beragam krisis termasuk krisis disentegari di Timor Timur yang merupakan
warisan orang yang mengajarkan sekaligus mendiktenya untuk berpolitik itu.
Habibie yang terkesan tidak tegas, plin-plan dalam mengambil keputusan
merupakan faktor keberuntungan yang dimiliki oleh Xanana Goesmao untuk
mengacaubalaukan rasa nasionalime rakyat Timor Timur.
Xanana
Goesmao yang didukung oleh negara luar seperti Australia dan Portugal semakin
menggebu-gebu untuk menyuarakan kemerdekaan. Akan tetapi, Presiden B.J Habibie
berupaya keras untuk menampal luka lama Partai Fretelin itu. Sayangnya, manusia
brilliant asal Indonesia itu tidak mampu menutup luka secara utuh, hanya
ditutup sebagian saja, sebagian lagi dibiar terbuka.
Dua opsi
(pilihan alternatif) yang dia tawarkan untuk memecahkan masalah Timor Timur
yaitu pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan diri
dari Indonesia. Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya,
perundingan Tripartit di New York pada 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal
dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan jajak pendapat mengenai
status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor
(UNAMET).
Jajak
pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh 451.792
orang pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang
ditetapkan UNAMET, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri.
Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB.
Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen menerima otonomi khusus
yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam Sidang Umum
MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur
seperti pada 1975.
Memperkuat NKRI
Di mulai dari
kisah visi-misi Amerika Serikat untuk memberangus komunis hingga drama
bergabungnya Timor Timur, penulis mencoba memetik hikmah dari lepasnya Timor
Timur. Dan ada dua item penting yang dapat kita petik yaitu penyelesaian
masalah Timor Timur memberikan citra positif Indonesia di forum internasional,
terlepas dari citra negatif yang datangnya dari kelompok-kelompok penekan untuk
menjatuhkan mantan Presiden Habibie dan Indonesia secara ekonomis diuntungkan,
sebagaimana kata Andi Yusran (1999: 127) dalam buku karangannya,.”Reformasi
Ekonomi Politik”. Dengan lepasnya Timor Timur setidaknnya membawa
keuntungan atau kepentingan strategis bagi Indonesia.
Pertama,
secara politik, penyelesaian sesegera mungkin secara bijaksana dan bertanggung
jawab atas masalah Timor Timur akan memberikan citra positif bagi Indonesia di
forum internasional. Kedua, secara ekonomis Timor Timur bukanlah daerah
‘basah’ penghasil devisa negara, sebaliknya Timor Timur justru telah menjadi
beban ekonomi bagi pemerintahan Indonesia, PAD sebesar 8 persen dari APBD
setidaknya mengindikasikan posisi geo-ekonomi, Timor Timur tersebut minimal
membawa konsekuensi ekonomis atas masalah Timor Timur sendiri.
Satu hal
perlu menjadi catatan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertangguh
keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagian besar suatu
anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai batas-batas teritorial dari negara
sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka menjadi warganya dan apabila
sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai sturuktur
pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi
seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut. Hal ini seperti yang
dikutip Nasikun (1983) dari Liddle.
Menurut
Soleman B. Taneko, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsepsi Sistem Sosial dan
Sistem Sosial”, untuk mendukung hal yang penulis maksud di atas diperlukan lima
cara antara lain. Pertama, penciptaan musuh dari luar. Kedua, gaya politik para
pemimpin. Ketiga, ciri dari lembaga-lembaga politik seperti birokrasi tentara,
parpol dan badan legislatif. Keempat, ideologi nasional dan terakhir kesempatan
perluasan ekonomi. Di saat usia Indonesia yang ke-62, semoga bangsa ini tetap
utuh dan selalu jaya.
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5%
atau sekitar 344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status
khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar
94.388 orang menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah
Republik Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti
dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk melepaskan Timor Timur
dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum berintegrasi .
Hasil tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan kelompok pendukung
anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain mengecewakan kelompok pro-integrasi
dan para prajurit TNI/POLRI yang telah berjuang mempertahankan integrasi Timor
Timur[21].
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat,
keadaan di Dili ( Ibu kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan
kecewa dengan hasil jajak pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan
intimidasi terhadap para pendukung anti-integrasi. Pertikaian dan konflik
antara kedua pihak semakin meningkat setelah masing-masing pihak menyatakan
siap untuk perang. Pada tanggal 4 September terjadi pertikaian antara kedua
kelompok di Pelabuhan Dili. Kelompok anti-integrasi yang terdesak bersembunyi
dirumah Uskup Belo sehingga menyebabkan massa dari kelompok pro-integrasi marah
dan membakar salah satu bangunan di Keuskupan. Peristiwa kekerasan juga terjadi
pada tanggal 5 September 1999 di Keuskupan Diosis Dili dan mengakibatkan banyak
orang meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor CNRT di Mascaronhos,
Dili Barat. Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran terhadap kantor
CNRT oleh massa kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa tersebut
menyebabkan keadaan di Timor Timur semakin tidak aman sehingga mengakibatkan
banyak orang mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari mereka yang
mencari perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat (NTT) yang
berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan
Pemerintah Republik Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan
dari masyarakat internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan
amanat sesuai Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia,
Inggris, Jepang, Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak
Pemerintah Republik Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman
dan tertib di Timor Timur[22]. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia
dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila
Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur. Selain
itu DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum kepada
Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila dalam waktu 48
jam aparat keamanan (TNI/POLRI) tidak berhasil mengembalikan keamanan dan
ketertiban Timor Timur maka Pemerintah Republik Indonesia harus siap untuk
menerima bantuan internasional[23].
Banyaknya tekanan dari masyarakat internasional
menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan darurat di Timor Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959
tentang Keadaan Darurat maka mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik
Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan keadaan
Darurat Militer (PDM) memberi landasan hukum dan wewenang bagi TNI/POLRI untuk
bertindak lebih tegas dalam menindak kerusuhan, kebrutalan, dan pelanggaran
hukum di wilayah itu supaya ketertiban dapat pulih[24].
Keputusan ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun 1999 dan Lembaran Negara
No.152 serta mendapat persetujuan dari Portugal dan Sekjen PBB. Oleh karena
hasil yang dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan maka pada tanggal 24
September kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini menyebabkan
Pemerintah Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan multinasional
penjaga perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan perdamaian
dan keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah
Republik Indonesia, maka Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi
No.1264 tahun 1999 yang disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB[25].
Berdasar Bab VII Piagam PBB, maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan
multinasional (Multinational Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force East Timor). Badan
ini bertugas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur,
melindungi dan mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya, dan memfasilitasi
operasi bantuan keamanan PBB serta harus bersikap netral[26].
Badan ini secara resmi bertugas untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan di
Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada tanggal 20 September 1999 pasukan INTERFET
yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter Cosgrove tiba di Timor Timur untuk
melakukan Operasi Pemulihan (Operation
Stabilise). Seperti halnya dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap
tidak netral dan berpihak pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di
Timor Timur semakin baik dan ketegangan antara kedua pihak yang bertikai
berkurang maka pasukan INTERFET ditarik mundur secara perlahan-lahan dan
digantikan oleh UNTAET.
berikan komentar anda mengenai blog yang di atas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar