Translate

Rabu, 24 September 2014

Timor Timur

RESUME PERISTIWA SEJARAH BERGABUNG DAN LEPASNYA TIMOR TIMUR DI INDONESIA (1976-1999)

Peristiwa yang terjadi di Timor-Timur tidak terlepas dari Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal pada tahun 1974, dimana Presiden Portugal yang ada, Salazar, dan digantikan dengan Presiden yang baru, Spinola. Presiden Spinola menetapkan dua kebijakan baru yang mempengaruhi daerah jajahannya, yang pertama adalah dekolonisasi, yang kedua adalah demokratisasi. Kebijakan demokratisasi ini yang nantinya memberikan kesempatan bagi daerah jajahan untuk menentukan nasibnya sendiri. Di Timor Timur sendiri terbentuk beberapa oragnisasi masyarakat yang kemudian berubah menjadi partai politik. Setiap partai ini memiliki tujuan tersendiri diantaranya seperti Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente), sebuah partai komunis yang menginginkan Timor menjadi sebuah negara komunis yang merdeka. UDT (União Democrática Timorense), sebuah partai yang menginginkan Timor merdeka namun masih dalam naungan Portugal. Ada pula Apodeti (Associação Popular Democratica Timorense) yang menginginkan wilayah Timor bergabung dengan NKRI.
Salah satu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugal yang cukup besar dan terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque. Perlawanan rakyat yang di gerakkan dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat untuk berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor Portugal, terutama rakyat Kabupaten Viqueque bangkit mengangkat senjata melawan penjajah Portugal. Beberapa tokoh pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte, Salem Musalam Sagran dan, Germano D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang banyak bercerita tentang bagaimana perlawanan terebut, cita-cita intergrasi penderitaan akibat kegagalan perjuangan karena berhasil ditumpas oleh Pemerintahan Portugal. Selain ketiga tokoh tersebut, pada pertengahan Januari 1996, ketiga pelaku pergerakan Viqueque yang oleh pemerintah Portugal di buang ke Angola dan Portugal. Perjuangan rakyat Timor Timur melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan kemudian mendapatkan status sebagai salah satu provinsi di Indonesia.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Jalannya jajak pendapat dikawal oleh Australia atas nama PBB. Dan hasil dari jajak pendapat ini adalah memenangkan pihak yang ingin Timor Timur merdeka. Hasil dari jajak pendapat itu sendiri adalah sebanyak 98,6% dari 450.000 pemilih yang terdaftar, menggunakan haknya dalam jajak pendapat. Terdapat 446.953 suara yang dihitung dan 438.968 di antaranya sah. Kelompok prokemerdekaan meraih suara terbanyak dalam hasil jajak pendapat dengan perolehan suara 344.580 suara atau 78,2%, sedangkan prootonomi meraih sekitar 94.388 suara atau 21%. Indonesia pun setelah itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan harus merelakan salah satu provinsinya lepas.


Bagian 2

Lepasnya Timor Timur dari NKRI

Berakhirnya rezim pemerintahan otoritarian Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri mantan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa telah membuka cakrawala baru bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu, persoalan status Timor Timur yang menarik perhatian PBB dan masyarakat internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Penyelesaian masalah Timor Timur ini dilanjutkan oleh B.J Habibie dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian status khusus dengan otonomi luas dalam sebuah rapat kabinet pada tanggal 9 Juni 1998.
1.      Tawaran ( Opsi) Penyelesaian Persoalan Timor Timur
 Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi pembicaraan banyak kalangan bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Setelah insiden Santa Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah berusaha menyerukan otonomi bagi Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat dilakukan[1]. Seruan tersebut disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang pernah disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat reaksi keras dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Uskup Belo mengungkapkan pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan yang mengalami ancaman sehingga ia meminta bantuan        pengamanan dari internasional. Hal itu dilakukannya dengan alasan di Timor Timur sudah tidak ada tempat untuk melakukan pengaduan karena ABRI yang dianggap sebagai pelindung telah melakukan hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan kekerasan[2]. Akan tetapi semua usulan mengenai pemberian otonomi luas di Timor Timur tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia pada saat itu karena posisi dan sikap pemerintah sangat jelas yang menganggap  bahwa integrasi Timor Timur merupakan hal yang telah final dan tidak bisa ditawar[3].
 Pemberian otonomi luas menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, dan dapat diterima secara internasional. Cara ini menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu cara  penyelesaian yang paling realistis, paling mungkin terlaksana, dan dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu kompromi yang adil antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan[4]. Tawaran dari pemerintah berupa Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala Daerahnya sendiri, menentukan kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya sendiri. Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun tidak mendapat pengakuan dari PBB.
Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terlihat pada saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menyampaikan usulan Indonesia tentang pemberian status khusus ini kepada Sekjen PBB di New York pada tanggal 18 Juli 1998. Selain itu juga diperkuat dengan berlangsungnya kembali Perundingan “Senior Official Meeting” (SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998. Dari hasil dialog tersebut ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan lebih lanjut usulan baru dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi luas sebagai usaha penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi masing-masing pihak. Pada saat yang sama Sekretaris jendral PBB juga sedang berusaha untuk meningkatkan konsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat Timor Timur yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk   menyampaikan perkembangan perundingan yang telah dilakukan kepada mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah persetujuan tentang rancangan otonomi luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks) tersebut.
Tanggapan positip mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh banyak tokoh dan kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain terlihat  dalam diskusi yang diprakarsai oleh East Timor Study Group (ETSG)[5]. Mereka melihat konsep otonomi luas tersebut di dalam kerangka suatu masa transisi yang cukup lama sebelum suatu penyelesaian menyeluruh melalui referendum diadakan. Otonomi luas tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah Republik Indonesia, bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan tersebut.
Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain, wewenang Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan kecuali aspek pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang pemberian otonomi  luas terhadap masyarakat Timor Timur ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas daripada kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur memiliki kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih bersifat khusus[6]. Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami perubahan karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan pembicaraan berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie mengajukan Opsi II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor Timur menolak Opsi I tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan kemungkinan melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat, baik-baik, dan damai, serta secara konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden B.J.Habibie pada saat berlangsung Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri Bidang Politik dan Keamanan (Rakorpolkam) pada tanggal 25 Januari 1999. Rapat tersebut dilakukan untuk membahas surat yang dikirim oleh Perdana Menteri Australia-John Howard kepada Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai perubahan sikap Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam suratnya, PM John Howard mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum) setelah penerapan status khusus dengan otonomi luas di Timor Timur untuk jangka waktu tertentu. Perubahan sikap Australia itu berpengaruh bagi Pemerintah Republik Indonesia karena Australia sebelumnya menjadi salah satu dari beberapa negara yang mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur. Usulan Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27 Januari 1999 dan disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna terbatas Bidang Politik dan Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut Presiden B.J.Habibie akan berdampak positip bagi Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia akan terbebas dari beban nasional untuk membiayai pembangunan di Timor Timur, maupun tekanan-tekanan internasional dan kritik dari negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam negeri pada saat. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia(HAM) dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia[7].
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti dengan: pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga menimbulkan krisis multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru atas desakan para mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui gerakan reformasi secara berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam negeri terhadap pemerintah sehingga menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap pemerintah”. Keadaan pemerintah yang sedang mengalami banyak persoalan dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis Timor Timur yang menuntut diadakannya referendum sebagai sarana penentuan nasib rakyat Timor Timur.
Tuntutan tersebut mendapat banyak simpati dari kelompok-kelompok masyarakat lain di tanah air dan dunia internasional. Dari dalam negeri dukungan diberikan oleh kelompok pembela HAM dan demokrasi, seperti LSM dan Komnas HAM. Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan Australia  yang selalu mengontrol dan melakukan provokasi kepada Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua negara itu bersama-sama dengan PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”. Pemberian status ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27 Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang berhubungan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor Timur maka jalan yang akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah Republik Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib, dan konstitusional[8].
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan tidak diterima secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan bagi persatuan dan keamanan di wilayah itu[9]. Ancaman terhadap instabilitas keamanan di Timor Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi disana. Meningkatnya intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan intimidasi. Kelompok pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan pemberian Opsi II semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok pro-integrasi dan Pemerintah Republik Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat pendatang, baik para pedagang maupun aparat pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di wilayah itu. Selain itu kemunculan berbagai kelompok milisi pro integrasi yang tidak dapat dicegah menjadi faktor pendukung  bagi meningkatnya intensitas konflik di wilayah yang pernah menjadi propinsi ke-27 Indonesia[10].
            Keadaan di Timor Timur, khususnya Dili semakin kacau setelah pemimpin Gerakan Perlawanan Rakyat Timor Timur (CNRT/Concelho Nacional Resistencia Timorense)- Xanana Gusmao pada tanggal 5 April 1999 mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI dan TNI. Pertikaian dan konflik, serta tindak kekerasan yang sering terjadi antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan menyebabkan Pemerintah RI khususnya TNI/POLRI melakukan usaha-usaha rekonsiliasi untuk mendamaikan kedua pihak tersebut. Usaha tersebut juga dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Timor Timur. Usaha yang telah dilakukan oleh TNI/POLRI antara lain adalah dengan memfasilitasi suatu perjanjian damai yang diselenggarakan di Diosis Keuskupan Dili pada tanggal 21 April 1999. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Menhankam/Panglima TNI Jendral Wiranto, Komnas HAM, dan Gereja Katholik di Timor Timur dan menghasilkan kesepakatan tentang penghentian permusuhan dan penciptaan perdamaian[11]. Menindaklanjuti perjanjian damai tersebut maka TNI/POLRI dan Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS). Unsur-unsur keanggotaan KPS terdiri dari perwakilan Fretilin, kelompok pro-integrasi, TNI/POLRI, Komnas HAM, dan perwakilan Pemerintah RI serta wakil dari UNAMET[12]. Tugas dari KPS antaralain adalah (1) memonitor terjadinya pelanggaran-pelanggaran serta dampak perjanjian damai; (2) melakukan koordinasi dengan semua pihak untuk menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, dan kekerasan; (3) menerima pengaduan masyarakat tentang  pelanggaran yang terjadi di Timor Timur, baik yang dilakukan oleh aparat maupun pihak-pihak yang bertikai; (4) KPS bersama UNAMET akan menyusun suatu aturan main (code of conduct) untuk mengatur perilaku pada masa sebelum, selama, dan setelah konsultasi yang harus ditaati oleh semua pihak[13]. Pada tanggal 18 Juni 1999 TNI/POLRI berhasil memfasilitasi kesepakatan antara Concelho Nacional Resistencia Timorense (CNRT) dan Falintil dengan pihak pro-integrasi untuk menyambut Jajak Pendapat di Timor Timur. TNI/POLRI juga berhasil menjadi fasilitator penyelenggaraan Pertemuan Dare II di Jakarta pada tanggal 25-30 Juni 1999[14] yang membahas empat masalah pokok, yaitu rekonsiliasi, Jajak Pendapat, keamanan, dan masalah politik.
             Hasil dari usaha-usaha tersebut tidak sesuai dengan harapan karena kedua pihak yang bertikai  sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. Hal itu disebabkan oleh kuatnya rasa dendam diantara mereka. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kekacauan di Timor Timur. Ketegangan diantara kedua pihak semakin meningkat setelah dilakukan Jajak Pendapat yang diselenggarakan oleh UNAMET. Hasil jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB pada tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa sebesar 78,5% atau sekitar 344.580 orang menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas, sedangkan sebanyak 21,5% atau sekitar 94.388 orang menerima Opsi I. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka berpisah dari NKRI[15].
            Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau keadaan Timor Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap netral. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri Jaime Gama ( Portugal) dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan[16]. Kesepakatan ini diperoleh dalam sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di New York (AS) yang menghasilkan “Persetujuan New York”. Persetujuan ini menghasilkan tiga hal yang disepakati dan ditandatangani, serta satu lampiran yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur. Ketiga hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara Jajak Pendapat melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta adil; (3) persetujuan tentang pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1236 tahun 1999 dalam pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7 Mei 1999[17].
2.      Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie. Sesuai dengan Perjanjian New York, Jajak Pendapat diselenggarakan oleh PBB. Pelaksanaan Jajak Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu (1) Tahap Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni 1999; (2) Tahap Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999; (3) Tahap Persiapan dan Registrasi, tanggal 13 Juni-17 Juli 1999; (4) Tahap Pengajuan keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat, tanggal 18-23 Juli 1999; (5) Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus 1999; (6) Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999; (7) Tahap Pemungutan suara, tanggal 8 Agustus 1999. Dalam pelaksanaan ada beberapa tahapan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana sehingga mempengaruhi seluruh proses Jajak Pendapat. Tahap-tahap yang mengalami perubahan waktu pelaksanaan yaitu Tahap Persiapan dan Registrasi dilakukan tanggal 16 Juli 1999 karena ada kesulitan dalam penyelenggaraan peralatan, logistik, dan keterbatasan personil. Registrasi dilakukan tanggal 6 Agustus 1999 untuk wilayah Timor Timur dan 8 Agustus 1999 untuk wilayah diluar Timor Timur. Masa Kampanye juga mengalami kemunduran sehingga dimulai tanggal 11-27 Agustus 1999. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Kemunduran penyelenggaraan Jajak Pendapat selain karena perubahan waktu pelaksanaan tahapan sebelumnya, juga karena alasan keamanan dan logistik[18]. Perubahan waktu penyelenggaraan Jajak Pendapat disahkan dengan resolusi PBB No.1262 tanggal 27 Agustus 1999[19].
Jajak Pendapat dilakukan secara serentak di lebih dari 700 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur pada tanggal 30 agustus 1999 dan diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur yang berada di wilayah ini. Disamping itu juga diikuti oleh sekitar 30.000 orang Timor Timur yang berada di daerah lain (Denpasar, Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta) serta di Luar Negeri (AS, Australia, Macau, Mozambik, Portugal) yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih[20]. Syarat bagi orang-orang yang berhak mengikuti jajak pendapat adalah (1) telah berumur 17 tahun; (2) lahir di Timor Timur; (3) lahir diluar Timor Timur, tetapi memiliki sedikitnya satu orang tua yang lahir di Timor Timur; (4) menikah dengan seseorang yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Sementara itu hasil jajak pendapat diumumkan oleh PBB tanggal 4 September 1999.











Indonesiatu - Program Studi Ilmu Pemerintahan Semester V STISIPOL Raja Haji dan Tanjungpinang-Kepulauan Riau dan Wartawan Tabloid Suara Mahasiswa

Tepat pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI diumumkan. Dan akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak itulah, isu disentegrasi bangsa menjadi suatu persoalan yang tidak bisa dinomorduakan sebab bukan tidak mungkin muncul “kecemburuan” dari daerah lain yang merasa dirinya kaya dan mampu mengurus daerahnya sendiri memilih memisahkan diri juga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untunglah, kekhawatiran itu tidak terjadi pasca Timor Timur menyatakan sikap untuk membuat negara sendiri yang kini bernama Timor Leste. Meskipun demikian, ancaman-ancaman untuk merobohkan bangunan NKRI selalu saja terbit ketika bangsa ini lemah dan lengah. Namun, siapakah pelaku yang mencoba merobohkan kebhinekaan Indonesia? Kalau boleh jujur, ini adalah lagu lama. Permusuhan dan permainan negara-negara yang merasa dirinya digdaya antara AS yang berkiblat pada ideologi liberalis dan negara-negara yang beraliran komunis.

Ada benarnya, apa yang ditulis oleh wartawan Batam Pos pada Selasa (28/8), Bung Abdul Latif dalam tulisannya di kolom opini, “DCA, Ancam Integritas Bangsa” bahwasanya ada intervensi atau campur tangan AS (Amerika Serikat) dalam perjanjian DCA antara Indonesia dan Singapura. Kekhawatiran ini, menurut hemat penulis bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada, tetapi perlu dicermati bersama format seperti apa yang kita butuhkan untuk menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, ada baiknya kita belajar banyak dari sikap Timor Timur mengapa masyarakat di sana lebih memilih berpisah daripada bergabung dan menerima otonomi khusus dari pemerintah RI.

Bergabungnya Timor Timur sebagai propinsi ke-27 di masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan suatu cerita panjang bagi kehidupan kesejarahan dunia global umumnya dan khususnya bagi Indonesia. Bagaimana tidak, propinsi yang pernah dirasuki dan dikuasai Portugis itu, sekarang telah mengingkari ‘janji’-nya sendiri. Sebuah kesepakatan untuk setia kepada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, dibalik bergabungnya Timor Timur itu masih menyimpan teka-teki.yang mungkin tak terlalu sulit untuk dijawab. Mengapa negara lain khususnya Amerika Serikat mendukung pada saat disahkan RUU tentang integrasi Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia. Ada apa, toh Amerika sebagai negara yang mengaku dirinya adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh keuntungan materi dari disahkannya RUU itu menjadi UU. Aneh tapi nyata, segala kesulitan-kesulitan yang dihadapi Indonesia selalu dibantu oleh negara penganut paham liberal tersebut. Khususnya tentang loby pihak Amerika kepada negara-negara lain untuk mengakui bahwa Timor Timur telah resmi bergabung dengan Indonesia.

Negara-negara lain biasanya mengamini saja kalau Amerika yang mempunyai kemauan. Akan tetapi, itu semua belum dapat menjawab teka-teki yang penulis katakan tak sulit untuk dijawab tadi. Inti dari “belas kasih” negeri yang sekarang dipimpin George W. Bush ini merupakan umpan empuk yang dipergunakan untuk memberangus paham atau ideologi komunis.

Kalau Timor Leste saat itu tidak bergabung, maka Amerika tentu akan merasa sulit untuk menyuntikkan paham-paham liberalnya, karena saat itu paham komunis terlebih dahulu masuk daripada paham yang mereka anut. Sementara, komunis bagi mereka adalah faktor penghambat sekaligus penghalang bagi mereka untuk menguasai dunia, sehingga membuat mereka menyusun kekuatan dengan pemerintah Indonesia pada saat itu untuk memberangus komunis di Timor Timur.

Bantuan setengah hati dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika paham komunis telah berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan. Sehingga, pemerintah Indonesia terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan propinsi-propinsi yang berpotensi besar menyumbangkan “upetinya” ke pemerintahan pusat. Selanjutnya, Timor Timur menjadi ‘anak adopsi’ yang tak terurus. Mereka hanya diberikan ‘uang jajan’ selebihnya dibiarkan.

Timor Timur: Upaya Amerika Memberangus Komunis
Memang secara fisik Amerika tidak sedikit pun mempengaruhi apalagi menjajah Timor Timur untuk digali hasil kekayaannya secara materi, tetapi intervensi yang mereka lakukan hanyalah semata-mata untuk menolong dan mendukung Timor Timur, sehingga mereka mencari teman terdekat untuk diajak kerjasama yaitu Indonesia. Perbuatan yang kelihatannya terpuji menyimpan maksud terselubung yaitu terciumnya bau komunis di wilayah itu. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia, Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna mempermudah dan memuluskan paham modernisasi.

Sebagaimana yang ditulis Andi Yusran (1999: 128) bahwasanya masalah Timor Timur sebenarnya tidak melulu masalah politik, melainkan juga adalah persoalan hukum, persoalan yang selalu mengedepan saat ini dan sebelumnya adalah tidak adanya kepastian hukum bagi status Timor Timur, sejarah mencatat bahwa sejak awal integrasi (1975), integrasi tersebut tidak mendapat pengakuan dari PBB, namun demikian negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Australia, justru lebih awal memberikan dukungan, bahkan sejarah juga menunjukkan kalau AS “terlibat” dalam proses tersebut.

Masih menurutnya, dukungan negara-negara barat atas integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI itu bernuansa politik strategis, yakni usaha membendung pelebaran sayap komunisme, karena Fretelin yang sebelumnya telah memproklamirkan kemerdekaan atas Timor Timur secara sepihak (Nov 1974), dianggap beraliran Marxis. Dalam konteks ini, maka wajar jika Indonesia merasa telah di atas angin, karena telah mendapat dukungan AS dan negara Barat lainnya, konsekuensi dari semua itu Indonesia menjadi lengah (setengah hati?) tidak memperjuangkan status hukum atas Timor Timur, padahal sekiranya Indonesia mengangkat isu keabsahan Timor Timur di forum PBB minimal sebelum perang dingin berakhir (1989), besar kemungkinan AS beserta sekutu baratnya akan menjadi negara pertama yang mengakui integrasi tersebut.
Bermula dari perang saudara di Timor Timur, Fretelin golongam yang beraliran Marxis mendapat bantuan persenjataan. Bantuan persenjataan yang berasal dari Portugis menjadikan mereka kelompok yang berkuasa khususnya di daerah Dili. Pada 28 November 1975 secara sepihak Fretelin memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur dengan Xavier do Amaral sebagai presidennya, Ramos Horta sebagai menteri luar negeri dan Nicola Lobato sebagai perdana menteri.

Namun, proklamasi ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat Timor Timur sendiri. Demi mewujudkan impiannya, Fretelin kemudian melakukan tindakan pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya untuk menguasai wilayah Timor Timur sehingga terjadilah perang saudara. Fretelin sebagai partai beraliran komunis terpaksa menghadapi empat partai lain yang juga menguasai wilayah Timor Timur. Empat partai (UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista) yang menggabungkan kekuatan itu, melakukan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai Proklamasi Balibo pada 30 November 1975 yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia pada 7 Desember 1975.
Selanjutnya, pasukan Indonesia membantu keempat partai tersebut untuk melumpuhkan kekuatan Fretelin. Pernyataan integrasi masyarakat Timor Timur ke Indonesia di Balibo diulang kembali oleh para pendukungnya di Kupang (NTT) pada 12 Desember 1975. Melalui pengulangan proklamasi terebut, maka para pendukungnya sepakat membentuk Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) pada 17 Desember 1975 yang beribukota di Dili dan dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo sebagai ketua dan wakilnya Francisco Xavier Lopez da Cruz serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai oleh Guilherme Maria Gonsalvez dengan wakilnya Gaspocorria Silva Nones.

Pada 31 Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur dikeluarkan petisi yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI kepada DPR RI.

DPR melalui sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17 Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI / MPR/ 1978. Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan propinsi yang baru lahir tersebut memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili, Baucau, Monatuto, Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa, Ermera dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi gubernur dan wakil gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.

Persoalan Belum Selesai
Bergabungnya Timor Timur ke wilayah Indonesia bukan berarti persoalan Timor Timur selesai begitu saja. Sementara, bagi pemerintah RI Timor Timur telah sah bergabung wilayah Indonesia dan menganggap ancaman disintegrasi kecil kemungkinan untuk terjadi. Kelompok-kelompok penekan yang menentang integrasi memang tak dapat tumbuh dan berkembang di masa itu, tetapi mereka terus bergerilya menyusun rencana dan mencari moment yang tepat untuk bergerak meneruskan perjuangan mereka untuk lepas dari wilayah Republik Indonesia.

Memang tokoh-tokoh sentral yang mengingkari pengintegrasian tersebut seperti Alexander Kay Rala alias Xanana Gusmao telah ditahan oleh pihak-pihak yang berwenang di lingkungan pengamanan pada Era Orde Baru. Dan itu tak lepas dari peran Presiden Soeharto yang jeli melihat aksi-aksi kritis yang mencoba memecah belah persatuan.

Di dunia internasional, Portugal yang memasuki wilayah Timor Timur pertama kali mempersoalkan propinsi yang berlambang dasar perisai berbentuk persegi lima tersebut. Indonesia menganggap ini bukan sesuatu yang membahayakan dan menganggap hal ini biasa-biasa saja karena memandang masalah Timor Timur sudah selesai dan Timor Timur telah mereka anggap sebagai anak kandung yang paling bungsu. Selalu dimanja dan dipuja-puja. Pemerintah telah memberikan bantuan dana bagi daerah ini sebesar 92 persen untuk tahun 1998.

Meskipun demikian, Dewan Keamanan PBB, terus mengobok-obok bergabungnya Timor Timur ke wilayah Indonesia dan mereka belum mengakui integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Seperti yang ditulis Nico Thamien R (2003: 46) dalam bukunya yang berjudul. “Sejarah untuk Kelas Tiga SMU”,

“Posisi Indonesia semakin sulit ketika terjadi peristiwa Santa Cruz pada bulan November 1991 yang menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini memperkeras kritik dunia internasional dan lembaga-lembaga non pemerintah terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, bukan berarti pemerintahan Indoenesia lepas tangan begitu saja. Sejak tahun 1980 sebenarnya mereka telah mencium bau yang tak sedap ini dan sering melakukan pembicaraan rutin dengan Portugal, tetapi pembicaraan itu tak mencapai titik temu.”

Hingga pemerintahan Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Angin disentegrasi yang semula sepoi-sepoi berhembus, sekarang hembusannya semakin kencang. Apalagi bos CNRRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorese) yang merupakan tempat oposisi Fretelin bergabung setelah disudutkan, Xanana Goemao telah dilepaskan. Rencana apik yang telah dia susun di dalam kerangkeng semakin mudah dia lakukan bersama konco-konconya.

B. J Habibie yang menggantikan mantan presiden Soeharto mau tidak mau turut tertimpa masalah dan beragam krisis termasuk krisis disentegari di Timor Timur yang merupakan warisan orang yang mengajarkan sekaligus mendiktenya untuk berpolitik itu. Habibie yang terkesan tidak tegas, plin-plan dalam mengambil keputusan merupakan faktor keberuntungan yang dimiliki oleh Xanana Goesmao untuk mengacaubalaukan rasa nasionalime rakyat Timor Timur.

Xanana Goesmao yang didukung oleh negara luar seperti Australia dan Portugal semakin menggebu-gebu untuk menyuarakan kemerdekaan. Akan tetapi, Presiden B.J Habibie berupaya keras untuk menampal luka lama Partai Fretelin itu. Sayangnya, manusia brilliant asal Indonesia itu tidak mampu menutup luka secara utuh, hanya ditutup sebagian saja, sebagian lagi dibiar terbuka.

Dua opsi (pilihan alternatif) yang dia tawarkan untuk memecahkan masalah Timor Timur yaitu pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya, perundingan Tripartit di New York pada 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor (UNAMET).

Jajak pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh 451.792 orang pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNAMET, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri. Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB. Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen menerima otonomi khusus yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.


Memperkuat NKRI

Di mulai dari kisah visi-misi Amerika Serikat untuk memberangus komunis hingga drama bergabungnya Timor Timur, penulis mencoba memetik hikmah dari lepasnya Timor Timur. Dan ada dua item penting yang dapat kita petik yaitu penyelesaian masalah Timor Timur memberikan citra positif Indonesia di forum internasional, terlepas dari citra negatif yang datangnya dari kelompok-kelompok penekan untuk menjatuhkan mantan Presiden Habibie dan Indonesia secara ekonomis diuntungkan, sebagaimana kata Andi Yusran (1999: 127) dalam buku karangannya,.”Reformasi Ekonomi Politik”. Dengan lepasnya Timor Timur setidaknnya membawa keuntungan atau kepentingan strategis bagi Indonesia.

Pertama, secara politik, penyelesaian sesegera mungkin secara bijaksana dan bertanggung jawab atas masalah Timor Timur akan memberikan citra positif bagi Indonesia di forum internasional. Kedua, secara ekonomis Timor Timur bukanlah daerah ‘basah’ penghasil devisa negara, sebaliknya Timor Timur justru telah menjadi beban ekonomi bagi pemerintahan Indonesia, PAD sebesar 8 persen dari APBD setidaknya mengindikasikan posisi geo-ekonomi, Timor Timur tersebut minimal membawa konsekuensi ekonomis atas masalah Timor Timur sendiri.

Satu hal perlu menjadi catatan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertangguh keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagian besar suatu anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka menjadi warganya dan apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai sturuktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut. Hal ini seperti yang dikutip Nasikun (1983) dari Liddle.

Menurut Soleman B. Taneko, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial”, untuk mendukung hal yang penulis maksud di atas diperlukan lima cara antara lain. Pertama, penciptaan musuh dari luar. Kedua, gaya politik para pemimpin. Ketiga, ciri dari lembaga-lembaga politik seperti birokrasi tentara, parpol dan badan legislatif. Keempat, ideologi nasional dan terakhir kesempatan perluasan ekonomi. Di saat usia Indonesia yang ke-62, semoga bangsa ini tetap utuh dan selalu jaya.

Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk melepaskan Timor Timur dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum berintegrasi . Hasil tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan kelompok pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain mengecewakan kelompok pro-integrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah berjuang mempertahankan integrasi Timor Timur[21].
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat, keadaan di Dili ( Ibu kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan kecewa dengan hasil jajak pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan intimidasi terhadap para pendukung anti-integrasi. Pertikaian dan konflik antara kedua pihak semakin meningkat setelah masing-masing pihak menyatakan siap untuk perang. Pada tanggal 4 September terjadi pertikaian antara kedua kelompok di Pelabuhan Dili. Kelompok anti-integrasi yang terdesak bersembunyi dirumah Uskup Belo sehingga menyebabkan massa dari kelompok pro-integrasi marah dan membakar salah satu bangunan di Keuskupan. Peristiwa kekerasan juga terjadi pada tanggal 5 September 1999 di Keuskupan Diosis Dili dan mengakibatkan banyak orang meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor CNRT  di Mascaronhos, Dili Barat.  Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran terhadap kantor CNRT oleh massa kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa tersebut menyebabkan keadaan di Timor Timur semakin tidak aman sehingga mengakibatkan banyak orang mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari mereka yang mencari perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat (NTT) yang berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan dari masyarakat internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan amanat sesuai Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia, Inggris, Jepang, Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak Pemerintah Republik Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman dan tertib di Timor Timur[22]. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur. Selain itu DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum kepada Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila dalam waktu 48 jam aparat keamanan (TNI/POLRI) tidak berhasil mengembalikan keamanan dan ketertiban Timor Timur maka Pemerintah Republik Indonesia harus siap untuk menerima bantuan internasional[23].
Banyaknya tekanan dari masyarakat internasional menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan darurat di Timor Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959 tentang Keadaan Darurat maka mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan keadaan Darurat Militer (PDM) memberi landasan hukum dan wewenang bagi TNI/POLRI untuk bertindak lebih tegas dalam menindak kerusuhan, kebrutalan, dan pelanggaran hukum di wilayah itu supaya ketertiban dapat pulih[24]. Keputusan ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun 1999 dan Lembaran Negara No.152 serta mendapat persetujuan dari Portugal dan Sekjen PBB. Oleh karena hasil yang dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan maka pada tanggal 24 September kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan multinasional penjaga perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, maka Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999 yang disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB[25]. Berdasar Bab VII Piagam PBB, maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan multinasional (Multinational Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force East Timor). Badan ini bertugas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur, melindungi dan mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya, dan memfasilitasi operasi bantuan keamanan PBB serta harus bersikap netral[26]. Badan ini secara resmi bertugas untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan di Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada tanggal 20 September 1999 pasukan INTERFET yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter Cosgrove tiba di Timor Timur untuk melakukan Operasi Pemulihan (Operation Stabilise). Seperti halnya dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap tidak netral dan berpihak pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di Timor Timur semakin baik dan ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan INTERFET ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.
berikan komentar anda mengenai blog yang di atas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar